MENGGALI AKAR PENDIDIKAN ISLAM: ALIRAN DAN TOKOH KUNCI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Halaman 1

PENDAHULUAN

Pendidikan dalam pandangan Islam adalah penentu arah dan kualitas hidup individu. Ajaran Islam menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, sepanjang hayat, dari lahir hingga meninggal dunia. Konsep "life long education" ini tertuang dalam berbagai hadis.

Kedudukan pendidikan yang krusial ini menempatkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. John Dewey bahkan berpendapat bahwa pendidikan adalah kebutuhan hidup, fungsi sosial, bimbingan, dan sarana pertumbuhan yang membentuk disiplin hidup melalui transmisi informal, formal, maupun nonformal. Senada dengan itu, Rupert C. Lodge menyatakan, "Life is education, and education is life" (Hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup).

Oleh karena itu, pendidikan memiliki tugas fundamental untuk menjangkau seluruh aspek kebutuhan kehidupan dan harus senantiasa berkembang seiring dinamika dan transformasi zaman. Agar efektif, pendidikan secara inheren melibatkan refleksi dan analisis berkelanjutan, baik secara teoretis maupun praktis, demi memastikan relevansi dan kemampuannya dalam menjawab tantangan serta menawarkan solusi atas permasalahan masyarakat.

Kajian dan refleksi mengenai pendidikan telah dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, seperti agama, filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, sejarah, hingga antropologi. Setiap sudut pandang keilmuan ini melahirkan cabang-cabang ilmu kependidikan yang khas, seperti pendidikan agama, filsafat pendidikan, dan sosiologi pendidikan.

Filsafat pendidikan Islam memegang peranan krusial sebagai landasan konseptual dan spiritual dalam merancang serta mengimplementasikan sistem pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Sebagai disiplin ilmu yang dinamis, filsafat pendidikan Islam telah melahirkan beragam pemikiran dan pendekatan seiring perjalanan historis dan tantangan zaman yang dihadapi umat. Memahami kekayaan intelektual ini penting untuk mengapresiasi warisan pemikiran cendekiawan Muslim dan menemukan relevansinya dalam konteks pendidikan kontemporer. Berbagai corak pemikiran ini mengkristal menjadi aliran-aliran khas dengan penekanan dan tokoh sentral yang berpengaruh. Artikel ini akan mengkaji keragaman tersebut, menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Bagaimana Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan Islam?
  2. Siapa Tokoh-Tokoh Utama Aliran Filsafat Pendidikan Islam?
Halaman 2

Aliran-Aliran Utama dalam Filsafat Pendidikan Islam

Dalam khazanah pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan yang telah membentuk dan memengaruhi corak pemikiran serta praktik pendidikan Islam sepanjang sejarah. Ketiga aliran ini adalah Aliran Konservatif (al-Muhafidz), Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy), dan Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy). Masing-masing aliran ini memiliki pandangan khas mengenai hakikat ilmu, tujuan pendidikan, serta metode pencapaiannya, yang direpresentasikan oleh para tokoh utamanya.

1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)

Aliran konservatif, yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi, cenderung mengedepankan aspek keagamaan murni dalam memaknai ilmu. Mereka memahami ilmu dalam pengertian yang sempit, di mana ilmu yang utama adalah ilmu-ilmu yang relevan di masa sekarang dan dapat membawa manfaat di akhirat.

Al-Ghazali, sebagai tokoh sentral aliran ini, mengklasifikasikan ilmu berdasarkan dua pembidangan utama:

  • Berdasarkan pembidangan:
    • Ilmu Syar’iyyah: Ilmu-ilmu yang bersumber dari para Nabi, meliputi ilmu ushul (pokok), ilmu furu’ (cabang), ilmu pengantar (mukaddimah), dan ilmu pelengkap (mutammimah).
    • Ilmu Ghairu Syar’iyyah: Ilmu-ilmu yang berasal dari ijtihad ulama atau intelektual Muslim, dibagi menjadi ilmu terpuji, ilmu yang diperbolehkan (tidak merugikan), dan ilmu yang tercela (merugikan).
  • Berdasarkan status hukum mempelajarinya:
    • Ilmu yang fardlu ‘ain: Wajib bagi setiap individu Muslim.
    • Ilmu yang fardlu kifayah: Wajib bagi sebagian kelompok Muslim untuk memenuhinya.

Al-Ghazali sangat menekankan bahwa ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh melalui kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi, sejalan dengan pandangan Mu’tazilah bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu. Pola pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan secara umum berorientasi pada pencapaian ridha Allah, berlandaskan teori ilmu ilhami yang diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik. Tujuan keagamaan menjadi puncak kegiatan menuntut ilmu, dengan pembatasan istilah al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.

Inti pemikiran aliran konservatif adalah:

  • Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat ini dan membawa manfaat di akhirat.
  • Ilmu-ilmu selain keagamaan dianggap sia-sia.
  • Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)

Aliran ini dijuluki sebagai "pemburu" hikmah Yunani di dunia Timur karena interaksi intensifnya dengan rasionalitas Yunani. Tokoh-tokoh utamanya adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih.

Menurut Ikhwan al-Shafa, ilmu adalah gambaran sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran dipahami sebagai upaya transformatif untuk mengaktualisasikan potensi belajar, atau dengan kata lain, mengubah jiwa pelajar dari berilmu secara potensial menjadi berilmu secara riil-aktual, fokus pada transformasi potensi manusia menjadi kemampuan "psikomotorik".

Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa, yang menjadikan keabadian jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal ini menunjukkan pengaruh pemikiran Plato. Mereka menempatkan jiwa pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal, yang memungkinkan pengetahuan manusia berkembang secara "linier-progresif" melalui tiga cara:

  • Melalui indera: Jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya.
  • Melalui burhan (penalaran-pembuktian logis): Jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya.
  • Melalui perenungan rasional: Jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.

Berbeda dengan Plato, Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa semua pengetahuan bermula dari cerapan inderawi. Mereka sangat menghargai beragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia, mengimplikasikan konsep ilmu tanpa pembatasan. Ikhwan membagi disiplin ilmu menjadi:

  • Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan)
  • Ilmu-ilmu Filsafat
  • Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematika)

Al-Farabi juga menghendaki operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.

Secara ringkas, teori utama aliran Religius-Rasional adalah:

  • Pengetahuan adalah muktasabah, hasil perolehan dari aktivitas belajar.
  • Modal utama ilmu adalah indera.
  • Lingkup kajian mencakup seluruh realitas yang ada.
  • Ilmu pengetahuan sangat bernilai secara moral dan sosial.
  • Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
Halaman 3

3. Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy)

Aliran pragmatis, yang tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun, menekankan tujuan pendidikan yang bersifat nyata dan memberikan keuntungan, baik duniawi maupun ukhrawi. Pemikiran ini sejalan dengan pragmatisme Barat seperti John Dewey, yang fokus pada hal-hal yang dapat dijangkau pancaindera.

Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah pembawaan manusia karena adanya kesanggupan berpikir. Pendidikan tidak hanya bertujuan memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga keahlian duniawi dan ukhrawi yang memberikan keuntungan, karena pendidikan adalah jalan untuk mencari rezeki.

Ia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya:

  • Ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik: Misalnya ilmu keagamaan, Ontologi, dan Teologi.
  • Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental: Misalnya kebahasaan Arab untuk ilmu syar’iy, dan logika untuk ilmu filsafat.

Berdasarkan sumbernya, ilmu dibagi menjadi dua:

  • Ilmu ‘aqliyah (intelektual): Diperoleh dari olah pikir rasio, seperti ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi, dan ilmu Matematika.
  • Ilmu naqliyah: Diperoleh dari transmisi orang terdahulu, seperti ilmu Hadits, ilmu Fiqh, dan ilmu kebahasaan Arab.

Ibnu Khaldun memandang ilmu dan pendidikan sebagai gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangan kebudayaan. Baginya, ilmu dan pendidikan adalah gejala sosial yang menjadi ciri khas insani.

Ide pokok pemikiran aliran Pragmatis meliputi:

  • Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun menjadi tahu karena proses belajar.
  • Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
  • Adanya keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

Tokoh-Tokoh Utama Aliran Filsafat Pendidikan Islam

1. Al-Ghazali

a. Riwayat Hidup

Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 450 H (1050 M) di Ghazaleh, Tus, Khurasan. Berasal dari keluarga sederhana, ayahnya seorang pemintal benang yang gemar menuntut ilmu dan bergaul dengan ulama. Al-Ghazali memulai pendidikannya di Tus, kemudian melanjutkan ke Nisyafur dan Khurasan, pusat ilmu pengetahuan penting di dunia Islam saat itu. Di Nisyafur, ia berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaimy, seorang guru besar terkemuka.

Setelah ayahnya wafat, Al-Ghazali dan saudaranya dititipkan kepada seorang sufi yang kemudian menyarankan mereka belajar di madrasah agar dapat meraih cita-cita dan memenuhi kebutuhan hidup. Di madrasah, ia mendalami ilmu fikih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani dan tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj hingga usia 20 tahun. Ia kemudian memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, di mana ia kembali bertemu dengan Imam Haromain. Al-Ghazali mempelajari fikih, mantiq, ushul, filsafat dari risalah Ikhwanus Shofa, Al-Farabi, Ibnu Miskawaih, serta ajaran Aristoteles dan pemikir Yunani lainnya. Ia juga mendalami ajaran Imam Syafi’i, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, serta tasawuf dari Imam Abu Ali Al-Faramzi. Bahkan, ia mempelajari agama-agama lain seperti Kristen.

Pada tahun 483 H (1090 M), Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Selama di Bagdad, selain mengajar, ia juga aktif membantah pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah, Ismailliyah, dan filsafat. Kedalaman ilmunya membuatnya dianugerahi berbagai gelar seperti Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syaikh al-Sufiyyin (Guru Besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabin (pakar Bidang Pendidikan).

Al-Ghazali dikenal sebagai sosok yang sempat ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, baik yang dicapai melalui panca indera maupun akal, karena banyaknya aliran yang saling bertentangan. Ia bahkan menentang pengetahuan dari panca indera karena dianggap mengandung kedustaan. Pada akhir perjalanan intelektualnya, ia menemukan keyakinan dalam tasawuf, di mana pengetahuan dan ilmu dianggap sebagai cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya.

b. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan

Kecintaan dan perhatian Al-Ghazali terhadap moralitas dan pengetahuan sangat besar, mengabdikan hidupnya untuk menjelajahi samudra keilmuan. Dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan kebenaran hakiki membuatnya terus melakukan pengembaraan intelektual di bidang filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lainnya. Hal ini terkadang menyebabkan inkonsistensi atau kontradiksi dalam karya-karyanya, karena dipengaruhi oleh perkembangan pemikirannya sejak muda.

Meskipun kitabnya yang masyhur, Ihya’ Ulumuddin, tidak menjelaskan pendidikan secara rinci, konsep pendidikannya dapat disimpulkan dari unsur-unsur pembentuk pendidikan yang ia sampaikan. Menurut Al-Ghazali, "sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…," dan "ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang."

Dari kutipan ini, dapat dipahami bahwa "hasil" menunjukkan proses, "mendekatkan diri kepada Allah" menunjukkan tujuan, dan "ilmu" menunjukkan alat yang disampaikan dalam bentuk pengajaran. Dengan demikian, Al-Ghazali mengkonseptualisasikan pendidikan sebagai sebuah proses yang memiliki tujuan berlandaskan pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan.

Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan bahwa tujuan pendidikan bermuara pada nilai moralitas dan akhlak. Pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian atau sekadar mencari materi di masa mendatang, melainkan harus memiliki rasa emansipatoris, sebuah konsep yang relevan hingga saat ini.

Halaman 4

2. Ikhwan Al-Shafa

a. Biografi Ikhwan al-Shafa’

Ikhwan al-Shafa’ adalah nama sebuah kelompok pemikir Muslim rahasia (filosofis-religius) yang berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyyah, muncul sekitar abad ke-4 H/10 M di Basrah. Keberadaan dan aktivitas kelompok ini dirahasiakan, namun risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan menunjukkan masa aktif antara tahun 347 H/958 M hingga 373 H/983 M. Pusat kegiatan mereka di Basrah, dengan cabang di Baghdad, dan kemudian menyebar ke Iran dan Kuwait.

Organisasi ini mengajarkan dasar-dasar agama Islam yang didasarkan pada persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap saling mencintai sesama Muslim dan kepedulian yang tinggi. Setiap anggota wajib menjadi guru dan mubalig bagi masyarakatnya. Kerahasiaan kelompok ini kemungkinan besar bertujuan melindungi masyarakat dari permasalahan politik dan pemerintahan kala itu, serta memperluas gerakan dengan mengajak masyarakat yang berminat pada keilmuan dan kebenaran.

Mereka membagi keanggotaan dalam empat tingkatan:

  1. Ikhwan al-Abrar al-Ruhama’: Usia 15-30 tahun, berjiwa suci dan pikiran kuat, berstatus murid yang tunduk dan patuh pada guru.
  2. Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala’: Usia 30-40 tahun, mampu memelihara persaudaraan, pemurah, dan bersiap berkorban (tingkat guru-guru).
  3. Ikhwan al-Fudhala’ al-Karim: Usia 40-50 tahun, kedudukannya setara dengan sultan atau hakim dalam kenegaraan.
  4. Al-Kamal: Usia 50 tahun ke atas, disebut al-Muqarrabin min Allah karena mampu memahami hakikat sesuatu dan hati mereka telah terbuka untuk menyaksikan kebenaran dengan mata hati.

Ikhwan al-Shafa mengklaim diri sebagai kelompok non-partisan, objektif, pencinta kebenaran, elit intelektual, dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kaum mukmin yang militan dalam beramar ma'ruf nahi mungkar. Beberapa sejarawan kontemporer menganggap mereka sebagai kelompok terorganisir yang berusaha menghilangkan perseteruan sosial-politik dan keagamaan dengan mewadahi semua dalam satu mazhab inklusif yang bersumber dari ajaran semua agama dan aliran.

Dalam sejarah Islam, Ikhwan al-Shafa tampil eksklusif dalam gerakan reformatif pendidikannya. Mereka adalah ta'limiyyun (pengajar) yang memandang pendidikan secara rasional dan empiris, atau perpaduan antara pandangan intelektual dan faktual. Mereka melihat ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang diketahui dari alam, hasil pemikiran manusia yang mendapat informasi dari panca indera.

Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa setiap anak lahir dengan potensi (attitudes) yang harus diaktualisasikan. Dengan akal dan emosi, anak dapat berkembang dari intellect in habitu ke intellect in actu, dan akhirnya mencapai acquired intellect. Dengan demikian, peserta didik akan meningkat menjadi pendidik bagi dirinya sendiri, mampu belajar secara otodidak, dan mengambil keputusan tanpa dipengaruhi orang lain. Pemikiran ini menekankan pengembangan emosi dan kecerdasan peserta didik secara optimal untuk mencapai kemandirian, termasuk dalam menjaga tauhid.

b. Cara Mendapatkan Ilmu Menurut Ikhwan al-Shafa

Pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara:

  1. Dengan pancaindera: Hanya memperoleh pengetahuan tentang perubahan yang mudah ditangkap indera, seperti perubahan ruang dan waktu.
  2. Dengan akal prima atau berpikir murni: Akal murni harus dibantu oleh indera.
  3. Melalui inisiasi: Berkaitan erat dengan doktrin esoteris mereka. Seseorang mendapatkan ilmu secara langsung dari guru, yang mendapatkan ilmunya dari Imam, dan para Imam mendapatkannya dari Nabi, yang kemudian dari Allah sebagai sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini diduga mengadopsi pemahaman Syi’ah.

Abudin Nata meringkas konsep pencapaian ilmu Al-Safa menjadi dua cara:

  1. Menggunakan pancaindera terhadap objek alam semesta yang empiris.
  2. Menggunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh orang lain.

Kedua cara ini hanya dapat dicapai oleh manusia, bukan binatang.

Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang anak yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas putih bersih (Tabula Rasa John Locke). Ini berarti pengetahuan awal terjadi karena interaksi panca indera dengan alam nyata, dan sebelum interaksi tersebut, akal tidak memiliki pengetahuan apapun.

Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan melalui pelimpahan (al-faidh) dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah melalui proses emanasi. Jiwa manusia yang awalnya kosong, mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya setelah indera berfungsi. Rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa, memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), diolah, disimpan dalam daya simpan (al-quwwah al-hafizhat), dan akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk direproduksi.

Pandangan ini berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam yang menyatakan manusia sejak lahir membawa potensi dasar (kemampuan dasar beragama) dari Allah, sehingga manusia tidak seperti kertas kosong.

Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha, dan didapat dengan panca indera. Mereka menolak pandangan Plato yang menganggap pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) atau bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide dan dapat mengetahui segala sesuatu.

Dalam mempelajari ilmu, Ikhwan al-Shafa mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu tidak terbatas pada ilmu agama (naqliyah) semata, tetapi juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu kealaman dan filsafat. Mereka mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah menjadi tiga kategori: matematika, fisika, dan metafisika. Ketiganya memiliki kedudukan yang sama dan bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Meskipun menekankan kekuatan akal, mereka juga mengakui keterbatasan panca indera dan akal untuk mencapai esensi Tuhan, sehingga diperlukan pendekatan inisiasi (bimbingan atau otoritas ajaran agama).

Halaman 5

3. Ibnu Khaldun

a. Biografi Ibnu Khaldun

Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan, atau lebih dikenal sebagai Ibnu Khaldun, lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo, Mesir, pada 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Ia adalah keturunan sahabat Rasulullah SAW, Wail bin Hujr dari kabilah Kindah.

Ibnu Khaldun diakui sebagai pendiri ilmu sosial, sejarawan, dan bapak sosiologi Islam, serta bapak Ekonomi Islam karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis telah dikemukakan jauh sebelum Adam Smith dan David Ricardo. Ia hafal Al-Qur'an sejak usia dini. Perjalanan hidupnya dipenuhi dengan pengembaraan dan perubahan, menduduki berbagai tugas besar dan jabatan politis, ilmiah, serta peradilan di Maghrib, Andalusia, dan negara-negara Timur.

Studi mendalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat, serta pengalaman hidupnya yang luas membentuk tulisan-tulisannya. Ia pernah menjabat posisi penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara, serta menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya monumental.

b. Ada tiga periode penting dalam hidup Ibnu Khaldun:

  • Periode pertama: Masa menuntut ilmu, mempelajari Al-Qur’an, tafsir, hadis, ushul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika, dan matematika. Studinya terhenti karena wabah pes pada tahun 749 H yang merenggut nyawa ayah dan sebagian besar gurunya. Ia kemudian hijrah ke Maroko dan Mesir.
  • Periode kedua: Terjun dalam dunia politik, sempat menjabat sebagai qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Ia juga pernah dipenjara akibat fitnah lawan politik.
  • Periode ketiga: Setelah keluar dari penjara, ia fokus pada penelitian dan penulisan. Ia melengkapi dan merevisi catatan-catatannya, menghasilkan kitab al-’Ibar (tujuh jilid) yang direvisi menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Karya ini diterjemahkan oleh De Slane pada 1863 dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun, dan pengaruhnya baru terlihat pada 1890 saat dipelajari oleh sosiolog Jerman dan Austria.

Karya-karya lain yang bernilai tinggi antara lain at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (autobiografi), Muqaddimah (pendahuluan atas kitab al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis dan filosofis, telah diterjemahkan ke berbagai bahasa), dan Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (ringkasan kitab tentang permasalahan dan pendapat teologi). Bryan S. Turner mengomentari bahwa tulisan sosial dan sejarah Ibnu Khaldun adalah satu-satunya dari tradisi intelektual yang diakui di dunia Barat, terutama oleh ahli sosiologi berbahasa Inggris.

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menganalisis "gejala-gejala sosial" dengan metode yang masuk akal. Ia membahas perbedaan masyarakat primitif dan modern, sistem pemerintahan, pengaruh faktor geografis, ekonomi individu dan negara, serta paedagogik, ilmu, dan pengetahuannya. Ia menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara dengan teori sejarah, meyakini bahwa negara berdiri bergantung pada generasi pertama yang bertekad dan kuat, diikuti generasi kedua yang menikmati kestabilan, dan generasi ketiga yang cenderung pada ketenangan dan materi sehingga melemah dan hancur.

Ibnu Khaldun sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan sejarah. Ia adalah peneliti yang tekun dengan ilmu dan pengetahuan luas, serta memperhatikan komunitas masyarakat. Sebagai seorang pejabat penting, ia juga penulis yang produktif, selalu melengkapi dan memperbarui tulisannya hingga berkualitas.

Pemikiran briliannya menjadikannya peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Al-Qur'an dari ayahnya membuatnya mengerti Islam dan giat mencari ilmu selain ilmu keislaman. Sebagai seorang Muslim dan hafiz Al-Qur'an, ia sangat menghargai kehebatan Al-Qur'an, menyatakan bahwa pendidikan Al-Qur'an termasuk syiar agama yang meresap ke hati dan memperkuat iman, serta patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu lain. Ia meyakini bahwa kehancuran suatu negara, masyarakat, atau individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spiritual. Pendidikan agama sangat penting sebagai dasar untuk membentuk insan yang beriman dan bertakwa demi kemaslahatan umat.

c. Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa akal pikir manusia berkembang setelah manusia memenuhi kondisi sempurna "kehewanannya", yaitu berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia tidak memiliki pengetahuan dan dapat dikategorikan sebagai "hewan" karena kesamaan proses kejadiannya. Pemberian Tuhan berupa serapan inderawi dan penalaran inilah yang disebut akal pikir.

Ibnu Khaldun mengedepankan watak kebudayaan (culture oriented) bagi ilmu dan pengajaran. Akal pikir adalah sarana manusia memperoleh kehidupan, kooperasi antar sesama, dan kemasyarakatan yang kohesif. Dari orientasi akal pikir semacam itu, keilmuan dan kreasi inovatif akan banyak dihasilkan.

Meskipun demikian, kecenderungan pragmatis dalam pemikiran Ibnu Khaldun belum eksplisit, kecuali jika dilihat pada idenya yang memasukkan pengajaran (program kurikuler) sejumlah keterampilan praktis. Ia mengedepankan corak aplikasi praktis dalam proses pembelajaran. Inilah keunikan pemikirannya dibandingkan ahli pendidikan pada masanya, dan hanya kelompok Ikhwan al-Shafa yang memiliki pemikiran serupa, meski masih kalah eksplisit.

Ibnu Khaldun berusaha menyelesaikan masalah debat tentang apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran bersifat bakat bawaan atau kemampuan hasil belajar. Ia cenderung pada pendapat terakhir (kemampuan hasil belajar), menyatakan: "Sesungguhnya kemumpunian dalam ilmu dan pemahaman mendalam terhadapnya hanya bisa dicapai dengan penguasaan penuh/profesionalitas prinsip-prinsip dasar, rumus-rumus dan seluk-beluk problematika ilmu terkait.” Ini menunjukkan keyakinannya pada pentingnya usaha dan praktik dalam mencapai penguasaan ilmu.

Halaman 6

Kesimpulan

Filsafat pendidikan Islam memiliki landasan yang kaya dan beragam, terangkum dalam tiga aliran utama: Konservatif (al-Muhafidz), Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy), dan Pragmatis (al-Dzarai’iy). Masing-masing aliran ini, yang diwakili oleh tokoh-tokoh besar seperti Al-Ghazali, Ikhwan al-Shafa, dan Ibnu Khaldun, menawarkan perspektif unik mengenai hakikat ilmu, tujuan, dan metode pendidikan.

Aliran Konservatif yang diwakili Al-Ghazali, menekankan ilmu agama sebagai prioritas utama yang harus dicari melalui rasio yang jernih, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kebahagiaan akhirat. Ilmu dipandang sempit pada yang bermanfaat secara spiritual, dan pendidikan berorientasi pada pembentukan moralitas dan akhlak.

Aliran Religius-Rasional, yang diwakili Ikhwan al-Shafa, mengintegrasikan rasionalitas Yunani dengan nilai-nilai religius. Mereka melihat ilmu sebagai hasil perolehan (muktasabah) yang bersumber dari indera dan akal, serta terbuka terhadap berbagai disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kemajuan manusia. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi manusia secara optimal hingga mencapai kemandirian, baik secara intelektual maupun spiritual.

Sementara itu, Aliran Pragmatis yang diwakili Ibnu Khaldun, memandang ilmu dan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan duniawi dan ukhrawi. Ilmu diperoleh melalui proses belajar dan olah pikir rasio, dengan penekanan pada keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi. Pendidikan baginya adalah gejala sosial yang membentuk keahlian praktis dan relevan dengan perkembangan masyarakat.

Perbedaan fundamental antar aliran ini terletak pada cakupan definisi ilmu, peran akal dan indera dalam proses perolehan ilmu, serta orientasi utama tujuan pendidikan, apakah lebih dominan pada aspek spiritual-akhirat atau juga mencakup aspek duniawi dan kemasyarakatan. Namun, ketiganya memiliki benang merah yang sama, yaitu keyakinan akan pentingnya pendidikan untuk kemaslahatan individu dan masyarakat, serta relevansinya dengan ajaran Islam.


Implikasi

Pemahaman mengenai aliran-aliran filsafat pendidikan Islam ini memiliki beberapa implikasi penting dalam konteks pendidikan kontemporer, antara lain:

  • Pengembangan Kurikulum Holistik: Adanya keberagaman pandangan tentang ilmu dapat mendorong pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang lebih holistik. Kurikulum tidak hanya berfokus pada ilmu agama (naqliyah) seperti pandangan konservatif, tetapi juga mengintegrasikan ilmu-ilmu umum (aqliyah) dan keterampilan praktis seperti yang ditekankan oleh aliran religius-rasional dan pragmatis. Ini akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya beriman dan bertakwa, tetapi juga memiliki kemampuan adaptif dan kontributif di masyarakat.
  • Harmonisasi Akal dan Wahyu: Diskusi antara aliran konservatif yang mengedepankan rasio dalam memahami agama, dengan aliran religius-rasional yang sangat menekankan peran indera dan akal dalam perolehan ilmu, menggarisbawahi pentingnya harmonisasi antara akal dan wahyu. Pendidikan Islam harus mampu memfasilitasi peserta didik untuk berpikir kritis dan rasional tanpa meninggalkan landasan nilai-nilai keislaman, serta mendorong mereka untuk mencari kebenaran dari berbagai sumber pengetahuan.
  • Pendidikan Berbasis Manfaat dan Realitas Sosial: Gagasan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan yang menghasilkan keuntungan duniawi dan ukhrawi, serta pandangannya bahwa pendidikan adalah gejala sosial, memberikan implikasi penting bagi relevansi pendidikan. Pendidikan Islam harus dirancang agar relevan dengan kebutuhan individu dan masyarakat, membekali peserta didik dengan keterampilan yang diperlukan untuk berkontribusi secara konkret dalam kehidupan sosial dan ekonomi, di samping membentuk karakter spiritual mereka.
  • Fleksibilitas Metodologi Pengajaran: Berbagai cara perolehan ilmu yang diusulkan oleh para tokoh (indera, rasio, inisiasi, praktik) menunjukkan perlunya fleksibilitas dalam metodologi pengajaran. Pendidik dapat mengadopsi beragam pendekatan yang sesuai dengan materi dan karakteristik peserta didik, mulai dari pengajaran berbasis pengalaman, diskusi rasional, hingga pendekatan spiritual dan pembentukan akhlak melalui teladan.
  • Peningkatan Peran Guru dan Lingkungan Belajar: Konsep "inisiasi" oleh Ikhwan al-Shafa yang menekankan peran guru sebagai sumber ilmu, serta pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan sebagai gejala sosial, mengimplikasikan pentingnya peran guru yang kompeten dan lingkungan belajar yang mendukung. Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membimbing, menginspirasi, dan menciptakan ekosistem pendidikan yang memungkinkan pengembangan potensi peserta didik secara menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

  • Abdul Azis Dahlan, “Filsafat” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid IV Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003.
  • Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
  • Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008.
  • Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
  • Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2010.
  • Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
  • John Dewey, Democracy and Education, New York: The Free Press, 1966.
  • Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta.PT. Tiara Wacana 2002.
  • Muhammad ‘Atifh al-Iraqy, Al-Falsafat al-Islamiyyat Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978.
  • Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
  • Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
  • Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, Hareh & Brothers, New York, 1947.
  • Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2010.
  • Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

Posting Komentar

0 Komentar