PENDAHULUAN
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, memiliki sejarah yang kaya dan kompleks, mencerminkan perpaduan budaya, sosial, dan politik masyarakat Bugis. Sebelum kedatangan ulama besar AG. H. Muhammad As'ad di awal abad ke-20, Wajo telah berdiri sebagai salah satu daerah penting dalam konstelasi kerajaan-kerajaan Bugis. Wilayah ini tidak hanya dikenal sebagai pusat pemerintahan yang berpengaruh luas, tetapi juga menjadi simpul perdagangan dan budaya yang hidup, serta titik temu berbagai kelompok etnis di Sulawesi Selatan.
Pemerintahan tradisional di Wajo pada masa itu berpusat pada sistem kerajaan dengan raja sebagai pemimpin tertinggi, didukung oleh struktur sosial yang sangat terorganisir. Wajo sangat dipengaruhi oleh dinamika politik lokal, terutama interaksi antarkerajaan Bugis. Namun, perkembangan sosial dan budayanya juga terwarnai oleh hubungan dengan kerajaan-kerajaan besar di luar Sulawesi, seperti Makassar, dan bahkan oleh masuknya pengaruh Islam.
Kehadiran AG. H. Muhammad As'ad di Wajo pada awal abad ke-20 membawa perubahan signifikan, khususnya dalam bidang pendidikan, sosial, dan agama. Namun, untuk memahami dampak kedatangannya secara utuh, penting untuk menilik kondisi Wajo sebelum masa tersebut. Artikel ini akan mengulas sejarah Wajo sebelum kedatangan AG. H. Muhammad As'ad, berfokus pada aspek geografis dan demografis, serta menyoroti tokoh-tokoh penting dalam proses islamisasi Wajo jauh sebelum AG. H. Muhammad As'ad Al-Bugisy datang.
Wajo Sebelum Kedatangan AG. H. Muhammad As'ad
Wajo, pada masa kedatangan AGH. Muhammad As'ad di tahun 1928, adalah daerah yang relatif terpencil dan jauh dari pusat Kota Makassar. Sama seperti daerah lain di Indonesia, Wajo saat itu berada di bawah kendali pemerintahan kolonial Belanda. Namun, jauh sebelum itu, Wajo telah menjadi sebuah kerajaan yang berdiri sekitar abad ke-14 M. Sebelum berstatus kerajaan, Wajo hanyalah perkampungan yang dipimpin oleh seorang kepala kampung bernama Matowa. Sejarah berdirinya Kerajaan Wajo dimulai dengan kedatangan seorang tokoh bernama **Lamatatikka** dari Luwu ke Sajoangin, sebuah daerah yang sudah ramai penduduknya. Lamatatikka, yang dikenal sebagai Tomanurung, memiliki karisma dan kewibawaan yang memukau. Pembawaannya yang tenang dan tutur katanya yang teratur membuat siapa pun yang mendengarnya terpesona. Matowa Sajoangin memiliki seorang putri cantik bernama I Guna, yang menarik perhatian Lamatatikka. Didorong oleh keinginannya untuk mempersunting I Guna dan menjalin hubungan keluarga dengan Matowa Sajoangin, Lamatatikka pun melamar sang putri. Meskipun Lamatatikka sudah populer di kalangan masyarakat karena ketampanan dan kecerdasannya, Matowa Sajoangin tidak serta-merta menerima lamaran tersebut. Ia perlu menyelidiki lebih lanjut latar belakang Lamatatikka. Setelah kesepakatan keluarga Matowa menyimpulkan bahwa Lamatatikka adalah keturunan raja di Luwu, seorang pemuda tampan, cerdas, dan berwibawa, lamaran Lamatatikka pun diterima. Sajoangin adalah daerah paling ramai di antara daerah sekitarnya. Setelah pernikahan Lamatatikka dengan I Guna, serta kesepakatan Matowa-Matowa kampung di sekitarnya, Lamatatikka diangkat sebagai **Arung Matowa**. Dengan demikian, daerah-daerah Matowa tersebut terhimpun menjadi satu kerajaan besar yang dipimpin oleh Lamatatikka. Upacara penobatan Lamatatikka sebagai Arung Matowa dilakukan di bawah pohon yang disebut pohon bajo. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi kesepakatan para Matowa untuk menamakan kerajaan baru itu sebagai **Kerajaan Wajo**.Keadaan Geografis dan Demografis
Kabupaten Wajo adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang terletak di sebelah utara Kota Makassar. Di bagian utara, Wajo berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Sidenreng Rappang. Di sebelah timur, berbatasan dengan Teluk Bone, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pinrang dan Kota Pare-Pare. Di bagian selatan, Wajo berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone. Ibu kota Kabupaten Wajo, **Sengkang**, dikenal sebagai pusat perdagangan. Penduduk Sengkang sangat aktif dalam berbagai bisnis, mulai dari hasil pertanian, peternakan, hingga kerajinan tangan berupa sarung sutra Bugis. Pada masa penjajahan, saat Madrasah Arabiyah Islamiyah didirikan oleh AGH. Muhammad As'ad, hingga sekitar tahun 1970-an, wilayah Wajo masih bergabung dengan Pare-Pare sebagai ibu kota kabupaten. Daerah-daerah lain yang termasuk wilayah Pare-Pare pada masa itu adalah Barru, Pinrang, Soppeng, dan Sidrap (Sidenreng Rappang). Pada tahun 1950-an, bus penumpang mulai beroperasi, bentuknya seukuran Metro Mini di Jakarta, dengan kemampuan mesin yang masih terbatas. Akibatnya, jarak 250 KM dari Kabupaten Wajo bisa ditempuh selama sehari/semalam (12 jam). Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo, berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Kondisi tanahnya sangat bervariasi, mulai dari yang datar, curam, hingga sangat curam. Beberapa pengusaha hotel bahkan membangun penginapan di daerah ketinggian agar pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh Kota Sengkang dari puncak gunung. Karena kondisi daerahnya yang tinggi dan curam di pegunungan, selain mobil, alat transportasi umum yang populer adalah bendi, motor, dan pete-pete (semacam angkot di Jakarta). Angkutan umum lain selain taksi dalam kota adalah sepeda motor yang dilengkapi tempat duduk di bagian belakang untuk penumpang, disebut **bentor** (bendi motor) karena menyerupai delman yang dimodifikasi.
Islam Masuk ke Wajo
Sejarah masuknya Islam ke Wajo sering dikaitkan dengan kedatangan tiga ulama dari Minangkabau pada abad ke-16, yaitu **Datuk Ri Bandang**, **Datuk Ditiro**, dan **Datuk Patimang**. Namun, berbagai bukti sejarah menunjukkan bahwa Islam sudah menyebar di Wajo sejak abad ke-13. Hal ini dapat ditelusuri dari jejak kedatangan **Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini**, kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang dikenal sebagai Wali Songo: Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin (Sunan Giri), Sayyid Raden Rahmatullah (Sunan Ampel), dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, yang kemudian dikenal dengan gelar **Syechta ri Tosora** (Syech kita di Tosora), adalah seorang ulama dari Dinasti Fatimiah yang juga merupakan leluhur sejumlah Wali di tanah Jawa. Bukti keberadaannya di Wajo adalah makam Syechta Tosora di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, yang berdekatan dengan makam tokoh-tokoh penting Kerajaan Wajo, salah satunya Arung Betteng Pola. Selain itu, terdapat pula makam-makam yang diyakini sebagai pengikut Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, termasuk makam Syekh Abd Rahman Sarape'e yang kemungkinan keturunannya atau pengikutnya yang menikah dengan bangsawan Bugis. Bukti lain keberadaan Islam di Wajo sebelum ketiga datuk asal Minangkabau tersebut adalah kehadiran penyiar agama Islam bernama **Nakhoda Bonang** pada tahun 1567, di masa pemerintahan Lamungkace Toaddamang. Namun, pada masa itu, Islam belum sepenuhnya diterima dengan baik oleh masyarakat Wajo. Menurut Cristian Pelras, sebelum kedatangan tiga ulama Minangkabau pada abad ke-16, Islam sudah masuk ke Sulawesi Selatan. Para penguasa Bugis dan Makassar telah mengenal Islam jauh sebelum mereka memutuskan untuk memeluknya. Argumen Pelras didasarkan pada catatan orang Portugis yang pertama kali mengunjungi Sulawesi Selatan pada tahun 1542, di mana di Siang telah terdapat komunitas Muslim Melayu dari Patani dan Pahang. Bahkan, Raja Gowa Tunijallo (1546-1565) telah mendirikan masjid untuk komunitas Islam dari Champa, Pahang, Johor, dan Minangkabau. Demikian pula di Wajo, diperkirakan Islam diperkenalkan oleh Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Menurut Mamuzziq, Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini alias Syekh Jumadil Kubro, yang silsilahnya tersambung pada Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib, berasal dari kawasan Asia Tengah dan berdakwah ke Nusantara.
Tokoh-tokoh Penting Sebelum Kedatangan AG. H. Muhammad As'ad
Sebelum kedatangan AG. H. Muhammad As'ad Al-Bugisy, beberapa tokoh penting memiliki peran signifikan dalam kelangsungan dakwah Islam di Wajo, di antaranya: ### 1. Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini Keberadaan makam seorang tokoh penyebar Islam di Wajo yang bernama **Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini** atau **Maulana Husain Jumadil Kubro** terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo. Beliau adalah cucu keturunan Nabi atau ahlulbait yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan, khususnya di Tosora. Ia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa (Wali Songo): Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin (Sunan Giri), Sayyid Raden Rahmatullah (Sunan Ampel), dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Meskipun terdapat beberapa versi mengenai asal-usulnya, semua versi tersebut sepakat bahwa Syekh Jamaluddin Akbar Al-Husaini adalah keturunan langsung atau cucu Nabi Muhammad SAW melalui putrinya, Fatimah Radiyallahu Anhaa. Sebagian besar penyebar Islam di Nusantara (Wali Songo) juga berasal dari keturunannya. ### 2. La Sangkuru Patau Mulajaji Setelah **La Sangkuru Patau** secara resmi memeluk Islam, dan sebagian besar rakyat Wajo mengikutinya, beliau berupaya mendalami agama baru tersebut dan menyebarkannya ke seluruh penduduk. Arung Matoa La Sangkuru mengirim utusan ke Gowa untuk mendatangkan mubalig. Diutuslah **Datu Sulaeman** untuk mengajarkan agama Islam. Sebelum memulai ajarannya, Datu Sulaeman menanyakan kepercayaan yang dianut oleh Arung Matoa dan seluruh penduduk Wajo. Arung Matoa menjelaskan bahwa kekuatan yang berkuasa atas segala-galanya adalah **dewata seuwae**. Dewata seuwae adalah kekuatan di luar diri manusia yang sifatnya Esa, Maha Esa, yang menciptakan dan menghancurkan, menghidupkan dan mematikan. Tuhan tak berawal dan tak berakhir, abadi, dan tidak bertempat kecuali kehendak-Nya. Apapun yang dikehendaki-Nya, itulah yang dihadapi hati dan tubuh. Ini adalah pegangan yang diwarisi turun-temurun dari Arung Matowa La Mungkace To Uddamang Matinroe ri Kannana. Datu Sulaeman menjawab bahwa hal itu benar, karena dalam agama Islam, Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah SWT. Allah tidak berserikat, tidak dilahirkan dan tidak melahirkan, tidak ada sesamanya, dan tidak ada yang disembah selain Dia. Dialah yang menghidupkan dan mematikan, yang berkuasa di langit dan di bumi, serta menguasai segala-galanya. Datu Sulaeman juga menekankan untuk menjauhi larangan Allah dan mengerjakan perintah-Nya. Dialog antara Arung Matoa La Sangkuru dengan Datu Sulaeman berlanjut dengan pertanyaan Arung Matoa mengenai apa saja yang dilarang. Datu Sulaeman menjelaskan larangan-larangan sebagai berikut: * *Aja Muappuang rakka*: Jangan menyuguhkan sesajen pada sesuatu. * *Aja muammanu-manu*: Jangan mempercayai bunyi yang ada di tanah (karena pada waktu itu, ada kepercayaan bahwa sebelum memulai pekerjaan penting, mereka harus tidur di tanah untuk mendengarsadda (bunyi) yang menjadi tanda-tanda bagi orang yang bersangkutan, hal ini bertentangan dengan Islam). * *Aja muappalabia*: Jangan mendengar nujum dari tukang tenun, misalnya ramalan tentang nasib baik dan buruk seseorang. * *Aja muanre camungu-mungu*: Jangan makan babi. * *Aja muinung pakamesse*: Jangan minum arak. * *Aja muanre riba*: Jangan makan riba. * *Aja muabboto*: Jangan main judi. * *Aja muappangaddi*: Jangan berzina. * *Aja muennau*: Jangan mencuri. Datu Sulaeman melanjutkan perjanjiannya, "Ucapkanlah dua kalimat syahadat supaya teguh pengertianmu tentang Allah SWT. Bersembahyanglah supaya teguh imanmu, berpuasalah dalam bulan Ramadhan supaya teguh pengertianmu bahwa Tuhan itu tunggal dan Dialah berkuasa atas segala-galanya. Keluarkanlah zakat agar supaya teguh pengertianmu bahwa Allah SWT telah memberi rezeki. Kerjakanlah ibadah haji bila mampu supaya teguh pengertianmu bahwa Allah SWT tiada yang menyamai kekuasaannya." Setelah mendengar penjelasan Datu Sulaeman, Arung Matoa memerintahkan seluruh penduduk Wajo untuk mengerjakan apa yang disampaikan oleh Datu Sulaeman. Upaya ini membuahkan hasil yang baik, anggota masyarakat secara bertahap mengenal agama Islam dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam rangka mengembangkan agama Islam di masyarakat, bersama Datu Sulaeman dan seluruh staf pemerintahan Kerajaan Wajo, mulailah disusun petugas-petugas agama yang akan ditempatkan di daerah-daerah, yaitu dua orang khatib, dua orang muazzim, dan tiga orang doja.
Kesimpulan
Wajo, sebelum kedatangan AGH. Muhammad As'ad pada tahun 1928, adalah daerah yang terpencil namun kaya akan sejarah, berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Masuknya Islam ke Wajo tidak hanya melalui kedatangan tiga ulama Minangkabau pada abad ke-16 (Datuk Ri Bandang, Datuk Ditiro, dan Datuk Patimang), tetapi juga melalui bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Islam telah tersebar sejak abad ke-13 dengan kehadiran Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Tokoh-tokoh penting seperti **Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini** dan **La Sangkuru Patau Mulajaji** memainkan peran krusial dalam dakwah Islam di Wajo sebelum kedatangan AG. H. Muhammad As'ad Al-Bugisy.
--- ## Daftar Pustaka* Patunru, A. Razak Dg. *Sejarah Wajo*. Yayasan Kebudayaan Sul-Sel & Tenggara, 1964. * Tim Penulis Pondok Pesantren As’adiyah. *Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren As’adiyah*. Sengkang: Penerbit As’adiyah Pusat, 2022. * [https://asadiyahpusat.org/2015/02/10/sejarah-masuknya-islam-di-wajo/](https://asadiyahpusat.org/2015/02/10/sejarah-masuknya-islam-di-wajo/) * [http://www.kompasiana.com/heryfebriyanto/sepenggal-kisah-syekh-jumadil-12](http://www.kompasiana.com/heryfebriyanto/sepenggal-kisah-syekh-jumadil-12)
---Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai sejarah dan proses islamisasi di Wajo sebelum kedatangan AG. H. Muhammad As'ad. Adakah aspek lain dari sejarah Wajo yang ingin Anda telusuri lebih jauh?
0 Komentar